siswa menderita masalah psikologis yang serius. Banyak siswa mengalami
kecemasan saat ujian, dan banyak yang merasa frustasi karena gagal
ujian. Kondisi psikologis siswa saat menempuh ujian tidaklah sama satu
dengan yang lain. Kecemasan tentunya mempengaruhi performa peserta
ujian, yang pada gilirannya berimbas pada hasil ujian. Tekanan
psikologis inilah yang rupanya tidak diperhitungkan oleh penyelenggara
ujian nasional.
Bagi guru :
guru
kehilangan energi kreatif mereka dalam mengajar. Guru-guru merasa
bahwa tidak ada gunanya merancang pengajaran kreatif dan inovatif karena
materi itu tidak akan diujikan.Akibatnya, guru mengajar semata-mata
demi tes. Maka dari itu materi yang diajarkan hanya materi yang keluar
di ujian.
Undang-undang menghendaki agar pendidikan sungguh-sungguh mampu
membekali siswa dengan kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosi.
Akan tetapi, di sisi lain, pemerintah secara tidak sadar telah
menghambat tujuan pendidikan yang mulia tersebut melalui pemberlakuan
ujian yang distandardkan dan tersentralisasi itu. Kalau akhirnya nasib
siswa ditentukan hanya oleh ujian tiga hari dan pada saat yang sama
reputasi sekolah dipertaruhkan, adalah masuk akal jika guru lalu
berpikir, untuk apa repot-repot mempersiapkan kegiatan pembelajaran yang
kreatif dan atraktif?
Disadari atau tidak, ujian nasional telah menyebabkan guru dan seluruh
komunitas sekolah mengarahkan perhatian mereka pada ujian penentu
kelulusan itu.