Rabu, 22 Januari 2014

Mengapa kecurangan UN selalu terjadi ?

penekanan yang berlebihan pada hasil, dan bukan pada proses belajar. Akibatnya, hasil menjadi tujuan utama. Ketika hasil dianggap lebih penting daripada proses, segala cara pun dihalalkan demi memperoleh nilai tinggi. Pemerintah sendirilah sebenarnya yang mengajarkan cara pandang seperti itu melalui ujian nasional. Di satu sisi, ujian nasional seakan-akan menjadi hakim penentu masa depan siswa tanpa mempertimbangkan riwayat belajar mereka. Di sisi lain, ujian nasional berisi soal-soal pilihan ganda yang bersifat sangat otoriter, seolah-olah hanya ada satu jawaban benar. Siswa tidak pernah bisa mengajukan argumentasinya mengapa mereka bisa sampai pada pilihan jawaban tertentu. Pembuat soal juga tidak pernah bisa mempertanggungjawabkan mengapa pilihan A, B, C, D, atau E menjadi jawaban benar untuk sebuah soal tertentu. Di sinilah letak persoalannya: bagaimana jika jawaban untuk sebuah soal masih bisa diperdebatkan? Kepada siapa siswa harus mengajukan argumentasi seandainya terdapat soal yang menurut mereka memiliki lebih dari satu jawaban benar? Pembelajaran seharusnya ditempuh melalui proses pengajaran yang benar, melalui tanya-jawab dan diskusi yang mendalam, serta kegiatan yang merangsang siswa untuk berpkir pada level yang tinggi, dan bukan sekadar memilih-milih alternatif-alternatif jawaban. 
Kedua, 
hasil ujian nasional berdampak pada reputasi dan nama baik sekolah, termasuk di dalamnya kepala sekolah dan para guru, di mata masyarakat umum. Ketika reputasi dan nama baik menjadi taruhan, segala cara untuk mempertahankannya seolah-olah sah untuk dilakukan. Lebih-lebih jika yang dipertaruhkan adalah reputasi kepala sekolah yang terancam dimutasi Kepala Dinas Pendidikan. Di Kalimantan Timur, misalnya, Kepala Dinas Pendidikan Samarinda mengancam memutasi kepala sekolah SMA/SMK yang tak berhasil melebihi target kelulusan siswa 75 persen

0 komentar:

Posting Komentar