penekanan yang berlebihan pada hasil, dan bukan pada proses
belajar. Akibatnya, hasil menjadi tujuan utama. Ketika hasil dianggap
lebih penting daripada proses, segala cara pun dihalalkan demi
memperoleh nilai tinggi. Pemerintah sendirilah sebenarnya yang
mengajarkan cara pandang seperti itu melalui ujian nasional. Di satu
sisi, ujian nasional seakan-akan menjadi hakim penentu masa depan siswa
tanpa mempertimbangkan riwayat belajar mereka. Di sisi lain, ujian
nasional berisi soal-soal pilihan ganda yang bersifat sangat otoriter,
seolah-olah hanya ada satu jawaban benar. Siswa tidak pernah bisa
mengajukan argumentasinya mengapa mereka bisa sampai pada pilihan
jawaban tertentu. Pembuat soal juga tidak pernah bisa
mempertanggungjawabkan mengapa pilihan A, B, C, D, atau E menjadi
jawaban benar untuk sebuah soal tertentu. Di sinilah letak persoalannya:
bagaimana jika jawaban untuk sebuah soal masih bisa diperdebatkan?
Kepada siapa siswa harus mengajukan argumentasi seandainya terdapat soal
yang menurut mereka memiliki lebih dari satu jawaban benar?
Pembelajaran seharusnya ditempuh melalui proses pengajaran yang benar,
melalui tanya-jawab dan diskusi yang mendalam, serta kegiatan yang
merangsang siswa untuk berpkir pada level yang tinggi, dan bukan sekadar
memilih-milih alternatif-alternatif jawaban.
Kedua,
hasil ujian nasional berdampak pada reputasi dan nama baik
sekolah, termasuk di dalamnya kepala sekolah dan para guru, di mata
masyarakat umum. Ketika reputasi dan nama baik menjadi taruhan, segala
cara untuk mempertahankannya seolah-olah sah untuk dilakukan.
Lebih-lebih jika yang dipertaruhkan adalah reputasi kepala sekolah yang
terancam dimutasi Kepala Dinas Pendidikan. Di Kalimantan Timur,
misalnya, Kepala Dinas Pendidikan Samarinda mengancam memutasi kepala
sekolah SMA/SMK yang tak berhasil melebihi target kelulusan siswa 75
persen
0 komentar:
Posting Komentar